BacaritaMaluku. com; Di sepanjang pesisir timur laut Pulau Ambon, terletak sebuah desa bernama Negeri Liang, di Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah. Di sini, desa disebut negeri. Dengan luas sekitar 46 km², desa ini memadukan alam pesisir dengan dataran hijau hutan tropis, menciptakan pemandangan menawan sekaligus berperan sebagai rumah bagi lebih dari delapan ribu jiwa. Di sini, kehidupan warga penuh warna dan harmonis, di mana masyarakat Kristen dan Muslim hidup berdampingan dalam semangat persaudaraan. Namun, di balik kedamaian ini, terdapat tantangan besar mewujudkan inklusi sosial bagi kelompok rentan, mulai dari lansia hingga penyandang disabilitas.
Ketika Program Penguatan Pemerintahan dan Pembangunan Desa (P3PD) Sub Komponen 2B mulai diluncurkan di Negeri Liang pada tahun 2023, banyak harapan ikut tumbuh di tanah Maluku ini. Program ini dirancang guna menjawab kebutuhan akses dan partisipasi yang merata bagi semua kalangan, terutama mereka yang sering kali tersisih dalam arus pembangunan. Negeri Liang kemudian menjadi percontohan penting dalam upaya menciptakan perubahan sosial, dengan pendekatan inklusif mengupayakan adanya peran perempuan kepala keluarga, penyandang disabilitas, dan lansia dalam pembangunan desa.
Salah satu inisiatif awal yang dihadirkan adalah penyediaan mesin jahit bagi penyandang disabilitas. Melalui bantuan pemerintah desa, mereka mulai memperoleh keterampilan menjahit dan menciptakan produk yang dapat dipasarkan, sebuah langkah kecil namun berarti untuk kemandirian. Dalam senyum dan semangat mereka yang tekun belajar di tengah keterbatasan fisik, tersirat tekad kuat untuk bangkit. “Mesin ini bukan hanya alat bagi kami, tapi juga harapan untuk bisa mandiri,” ungkap ibu Rafika, perempuan yang berusia 35 tahun, salah seorang penyandang disabilitas yang kini turut menyumbangkan karya dari tangannya untuk masyarakat sekitar.
Kepala Negeri Liang, Taslim Samoal, menegaskan bahwa dukungan bagi penyandang disabilitas bukanlah sekadar pemberian alat, melainkan mencakup upaya terus-menerus mengintegrasikan mereka dalam perekonomian desa. “Dengan menciptakan lapangan kerja khusus difabel, kami berharap mereka merasa dihargai dan menjadi bagian penuh dalam masyarakat kami,” ujarnya. Taslim paham betul bahwa tanpa keberpihakan pemerintah, mereka yang rentan akan tetap termarjinalkan dalam komunitasnya sendiri.
Peduli Melampaui Batas Usia
Di tengah semakin mahalnya kebutuhan pokok, kehidupan lansia yang telah melewati masa produktif menjadi perhatian utama di Negeri Liang. Keterbatasan fisik karena semakin menua membuat banyak dari mereka sulit bekerja dan menopang hidup sendiri. Oleh karena itu, pemerintah Negeri Liang berupaya memberikan dukungan dengan bantuan langsung tunai (BLT) dan sembako kepada para lansia. Bagi mereka, bantuan ini bukan hanya sekadar barang atau uang tunai, tetapi bentuk penghormatan dan pengakuan atas jerih payah yang pernah mereka lakukan demi desa pada masa mereka masih aktif di tengah masyarakat.
Seorang lansia bernama Hi. Talip Samual yang berusia 72 tahun mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada pemerintah desa. “Bantuan sembako ini berarti sekali, terutama di usia saya yang sudah tidak bisa bekerja seperti dulu,” katanya sambil tersenyum penuh haru. Bagi Baba Talip, perasaan dihargai lebih berarti daripada bantuan itu sendiri. Ia merasa bahwa keberadaannya masih dianggap penting, bahwa ia belum dilupakan oleh masyarakat di sekitar.
Namun, tantangan tidak berhenti di sini. Kepala Negeri Liang sadar bahwa sekadar bantuan sembako bukanlah solusi jangka panjang. Di masa mendatang, mereka berencana mengadakan program yang lebih berkelanjutan, termasuk pelatihan keterampilan yang ringan namun bernilai bagi para lansia, seperti pembuatan kerajinan tangan atau pengolahan makanan lokal. Hal ini diharapkan mampu menciptakan aktivitas bermanfaat bagi para lansia sekaligus memberikan tambahan penghasilan.
Tulang Punggung yang Tak Terlihat
Beban hidup perempuan kepala keluarga di Negeri Liang sering kali lebih berat, terutama di tengah keterbatasan ekonomi dan akses pekerjaan yang terbatas. Mereka tidak hanya bertanggung jawab atas kebutuhan anak-anak dan keluarga, tetapi juga harus mencari nafkah mempertahankan kelangsungan hidup keluarga. Oleh sebab itu, pemerintah Negeri Liang, dengan dukungan dari P3PD, berusaha memberikan perhatian lebih melalui pelatihan dan pemberdayaan.
Hajija Lessy yang berusia 61 tahun, seorang ibu satu anak yang telah lama berjuang sebagai kepala keluarga, merasakan dampak dari program ini. Ia berkesempatan mengikuti pelatihan kewirausahaan yang diselenggarakan oleh tim P3PD. “Dulu saya merasa terpinggirkan, tapi sekarang saya bisa membuat dan menjual kerajinan tangan,” ujar Ija bangga. Bagi Hajija dan banyak perempuan lainnya, pelatihan ini membuka pintu baru menuju kemandirian finansial sekaligus menumbuhkan rasa percaya diri.
Masyarakat Negeri Liang hidup dengan semangat gotong royong yang tinggi, seperti yang terlihat dalam sistem pela, sebuah tradisi persaudaraan yang telah terjaga ratusan tahun antara desa-desa di Maluku Tengah. Melalui pela, warga saling membantu dalam berbagai kegiatan, mulai dari acara adat hingga pembangunan fasilitas umum. Gotong royong ini menjadi modal sosial yang sangat penting dalam pelaksanaan program inklusi dan akuntabilitas di Negeri Liang.
Program P3PD mendayagunakan modal sosial dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, termasuk kelompok pemuda dan organisasi desa guna mendukung kaum rentan. Dengan adanya sinergi antara pemerintah dan masyarakat, program inklusi ini tidak hanya melibatkan mereka yang secara langsung menerima manfaat, tetapi juga menciptakan kesadaran kolektif tentang pentingnya menghormati dan menghargai keberagaman yang ada.
Meski telah banyak kemajuan, implementasi program inklusi di Negeri Liang masih menghadapi beragam tantangan. Salah satunya adalah keterbatasan sumber daya dan dana mengembangkan program-program pemberdayaan yang lebih berkelanjutan. Taslim Samoal berharap, ke depan program pemberdayaan ini dapat terus didukung oleh pemerintah baik pusat maupun daerah, swasta pun perlu menaruh perhatian agar tidak berhenti di tengah jalan.
Tim P3PD berencana untuk melibatkan lebih banyak kelompok marginal dalam organisasi desa dan kegiatan sosial. Dengan demikian, partisipasi mereka tidak hanya dalam konteks penerimaan bantuan, tetapi juga dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada kehidupan warga lebih luas. Hal ini diharapkan mampu memperkuat rasa memiliki dan tanggung jawab mereka terhadap negeri.
Harapan di Masa Depan
Inklusi sosial di Negeri Liang bukanlah sekadar slogan atau program yang datang lalu pergi. Di tengah keindahan alam pesisir yang membentang luas, terdapat mimpi dan harapan warga khususnya yang rentan agar tetap dapat hidup dalam keberdayaan dan kemandirian. Dengan segala upaya dari pemerintah desa, dukungan masyarakat, serta kerja keras kaum marginal itu sendiri, Negeri Liang menjadi contoh bahwa inklusi adalah mungkin, bahkan di wilayah yang jauh dari pusat perkotaan.
Harapan ini adalah untuk membangun Negeri Liang sebagai model bagi desa-desa lain di Indonesia Timur, membuktikan bahwa inklusi sosial bukan sekadar cita-cita yang sulit dicapai, tetapi bisa diwujudkan dengan kerja keras dan semangat kebersamaan. Di tengah segala keterbatasan, Desa Liang punya sejarah panjang dan tradisi untuk melangkah maju, perlahan namun pasti, menuju masa depan yang lebih berkeadilanberkeadilan. ***