BacaritaMaluku. Com–Ambon, Pernyataan anggota DPRD Provinsi Maluku, Zain Saiful Latukaisupy, yang menyinggung soal legalitas dan kesiapan pengelolaan tambang rakyat di kawasan Gunung Cinabar, Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), memantik reaksi keras dari masyarakat. Bukan tanpa alasan.
Ucapan seorang pejabat publik sejatinya lahir dari data, koordinasi, dan tanggung jawab moral terhadap seluruh rakyat yang diwakilinya — bukan untuk kepentingan kelompok atau negeri asal semata.
Himpunan Pemuda Huamual (HIPDA-H) menilai, pernyataan Zain bukan hanya menyesatkan, tapi juga potensial memecah harmoni sosial di kawasan yang memiliki catatan sejarah panjang konflik antarwarga. Ketika seorang wakil rakyat berbicara tanpa koordinasi dengan pihak yang berwenang, apalagi menyentuh wilayah yang sensitif seperti lahan adat dan kawasan tambang, itu bukan sekadar kekeliruan teknis — melainkan bentuk kelalaian politik yang bisa berakibat fatal.
Sikap yang ditunjukkan Zain Saiful, jika benar seperti yang disampaikan HIPDA-H, memperlihatkan bagaimana kekuasaan sering kali disalahpahami sebagai hak istimewa untuk mengatur. Padahal, menjadi anggota DPRD berarti memikul mandat kolektif, bukan menjalankan agenda pribadi. Ketika seorang wakil rakyat berbicara seolah mewakili satu negeri saja — apalagi negeri asalnya — maka dia sedang mempersempit makna representasi rakyat.
Maluku tidak kekurangan orang pintar, tapi sering kekurangan pejabat yang adil.
Gunung Cinabar bukan sekadar kawasan tambang. Ia adalah simbol dari persoalan klasik antara pengelolaan sumber daya dan penghormatan terhadap hak ulayat.
Di wilayah seperti Huamual, setiap langkah politik dan ekonomi harus berjalan di atas dua kaki: hukum dan kearifan lokal. Melangkah hanya dengan satu kaki, berarti siap jatuh.
HIPDA-H benar ketika mengingatkan potensi kegaduhan dari pernyataan Zain. Dua negeri bertetangga, Luhu dan Iha, punya sejarah kelam yang tak boleh diulang. Maka, seorang wakil rakyat yang paham sejarah mestinya berhati-hati dalam bertutur, apalagi bila menyentuh batas wilayah dan tambang yang menjadi urat ekonomi masyarakat.
Pernyataan yang terkesan sepihak, tanpa musyawarah dengan pemerintah negeri dan masyarakat adat, justru menodai prinsip dasar demokrasi lokal yang berakar kuat di tanah Maluku: baku sayang dan saling hormat antar negeri.
Sudah saatnya publik menagih integritas wakil rakyat. Kalau menjadi anggota DPRD hanya untuk memperjuangkan kepentingan satu negeri, maka lebih baik mundur dan jadi kepala soa di kampung sendiri.
DPRD bukan rumah untuk menegakkan kepentingan kelompok, tapi wadah bagi mereka yang sanggup berdiri di atas semua warna, garis, dan batas.
Kita tidak menolak investasi dan kemajuan, tetapi pembangunan yang beradab hanya bisa berdiri di atas dasar keadilan dan penghormatan terhadap hak rakyat. Bila pejabat publik justru menjadi sumber gesekan sosial, maka demokrasi kehilangan arah, dan rakyat kehilangan kepercayaan.
Zain Saiful — dan setiap anggota dewan lainnya — perlu mengingat: mandat rakyat bukan untuk menguasai, tapi untuk melayani. Dan kalau hanya ingin mengurus satu negeri, jangan jadi DPRD.***